pedestrian, abc & (dis)comforts

[english]
Walking. There is a big question in the head of filmaker, why Jakarta society is quite lazy to walk, whereas there is a pedestrian path. The answer could be variable. Because of hot (indeed, Jakarta is very hot), or dust from the city bus which like a machine gun, or there is gangster that ready to rob with their weapons, or because of not convenient with the condition, or even prestige to ride a vehicle. Apparently after we try to look further, the possibility is not only those reasons. We often watch on the television or wester film, how all the pedestrian is very convenient to walk alone in the middle of the city even in the midnight. In fact the conditon of pedestrian path in Jakarta is very chronic. A pedestrian is not given a space to walk, even without “comfort” term. We can admit that not all of the pedestrian path in Jakarta have been ripped by the street felon, but there is also some effort from the municipality to solve these problems.

The purpose of this project is as a question if Jakarta still needs a pedestrian path. Or eventhough we still walk in that pedestrian path, is it only for pedestrian or is it also for other users?


[bahasa indonesia]
Isu ini ingin mengangkat fenomena banyaknya halte bus yang tidak sesuai dengan konteks lingkungannya. Halte-halte bus didesain sedemikian serupa harus disesuaikan dengan konteks lingkungannya. Di Jakarta, halte-halte bus pada daerah Business District seperti di area Sudirman-Thamrin sudah tepat dalam hal desainnya yang sesuai konteks lingkungannya. Halte-halte lain di daerah sekeliling monas juga sudah didesain sesuai konteks lingkungannya. Namun masih banyak halte-halte yang didesain dan diletakkan tidak sesuai konteks lingkungannya. Bahkan cenderung halte bus tersebut banyak yang sudah tidak berfungsi dan rusak sehingga banyak penumpang bus yang tidak memakai halte tersebut dengan semestinya yang mengakibatkan bus atau angkutan umum lain berhenti sembarangan karena penumpangnya tidak merasa nyaman menunggu di halte tersebut. Permasalahan ini coba ditangkap dan dianalisis untuk dicarikan penyelesaian-penyelesaian yang sederhana dan bersifat menggugah dan menyentil.

Tujuan dari projek ini adalah untuk mengangkat realita halte-halte bus di Jakarta yang banyak didesain tidak sesuai konteks. Disini dicoba untuk saling menukar halte, baik yang kurang kontekstual ditukar dengan yang lebih kontekstual, ataupun juga menukar halte yang sudah kontekstual dengan yang tidak kontekstual sebagai sebuah satire dan sindiran.