Solusi Perumahan Rakyat ala Belanda 

author : Rusman Nurjaman
Thursday, 08 November 2012 – 07:00 pm


Scherf 13 Housing, salah satu model perumahan rakyat di Utrect, Belanda, yang banyak dirujuk.

Intisari-Online.com – Rumah atau tempat tempat tinggal merupakan salah satu kebutuhan dasar setiap orang. Sayangnya, di negeri ini masih ada warga yang menjadi tuna wisma. Atau tengok misalnya, berbagai pemukiman kumuh di kota-kota besar. Problem mereka adalah lantaran tidak mempunyai akses terhadap perumahan. Terlebih perumahan yang layak huni dan terjangkau. Dengan kata lain, perumahan rakyat merupakan salah satu tantangan terbesar bagi negara yang mengalami urbanisasi pesat seperti Indonesia.

Merancang perumahan sosial memang tidak pernah mudah. Namun, Belanda memiliki pengalaman panjang dalam menghadapi tantangan  di atas. Di sinilah relevansi pameran foto bertajuk “Housing the Crowd: Perumahan Sosial yang Atraktif dan Terjangkau” ([The Dutch Way] of Housing the Crowd: Attractive Affordable Housing by Design) bagi Indonesia. Pameran ini berlangsung tanggal 18 Oktober-7 November 2012 di Erasmus Huis, Kuningan, Jakarta Selatan.

“Pameran ini diadakan untuk membuka mata publik bahwa perumahan rakyat bisa memiliki desain yang menarik dan tetap murah,” kata Daliana Suryawinata, kurator pameran. Desain arsitektur tidak berarti harus mahal. Pengalaman Belanda membuktikan dengan karya-karya arsitektural rumah murah yang dibuat oleh arsitek-arsitek top Belanda di Eropa, Cina, dan lainnya. Konotasi perumahan sosial yang umumnya membosankan dan berkualitas rendah justru melecut semangat arsitek Belanda yang kreatif. Mereka pun merancang perumahan sosial semenarik mungkin, tapi sesuai anggaran.

Di Indonesia sendiri, perumahan rakyat baru sebatas pengadaan. Itu pun masih dalam proses, belum terwujud. Daliana mengusulkan, agar melalui desain arsitektur, perumahan rakyat yang akan muncul di Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia dapat melampaui standar yang biasa-biasa saja. Bahkan, perumahan itu dapat menjadi ikon sebuah kota, meskipun dibangun dalam batas-batas pembiayaan yang memungkinkan. Ia mencontohkan Hatert Housing, perumahan rakyat yang menjadi ikon arsitektur baru di kota Nijmegen, Belanda.

Sebagai ikon arsitektur kota, perumahan rakyat tersebut tentunya memiliki kriteria unggulan. Seperti apakah kriteria perumahan yang unggul itu?

Menurut Daliana, perumahan yang unggul mengutamakan manusia yang tinggal di dalamnya sebagai subjek, bukan objek. Maka, perumahan kolektif harus mengekspresikan karakteristik/keunikan individual dan kolektivitas pada saat yang sama. “Desain arsitektur dapat membantu terwujudnya impian ini,” kata arsitek yang juga merangkap Chief Officer Indonesian Institute of Architects EU (IAI-EU) ini. Sebagai bangunan, tentu estetika dan fungsi harus sama-sama unggul. “Dan desain perumahan rakyat yang unggul harus menjawab tantangan iklim, ekonomi, sosial dan budaya,” tambahnya.


Hatert Housing, perumahan rakyat yang menjadi ikon arsitektur baru di kota Nijmegen, Belanda.

Tipe-tipe perumahan yang dipamerkan dalam “Dutch Way of Housing the Crowd’ ini memang untuk masyarakat dari berbagai lapisan sosial. Lagi-lagi, negara-negara di Eropa seperti Belanda mempunyai strategi khusus untuk mewujudkannya. Untuk mensubsidi rumah murah, praktik yang sering dilakukan adalah mencampur penghuni yang berpenghasilan tinggi, menengah, dan rendah dalam satu bangunan. Bahkan, ini merupakan kebijakan perumahan yang sudah berjalan selama beberapa dekade. Di Belanda sendiri, kisaran biaya per m2 adalah 700-800 Euro. Harga tersebut hampir setengah dari biaya rumah pribadi (singular), yaitu 1350 Euro per meter persegi.

Bercermin dari pengalaman Belanda ini, ide apa yang bisa ditawarkan untuk mengatasi problem pemukiman di Indonesia?

Daliana mengemukakan, setidaknya ada tiga hal.Pertama, ide mixed social income sangat penting untuk menghindari munculnya “masyarakat berpagar” (gated communities) seperti yang terjadi di kompleks-kompleks perumahan real estate saat ini. Kedua, ide serba guna (mixed use) antara perumahan, kesehatan, pendidikan dan fasilitas-fasilitas kebudayaan, perdagangan, dan rekreasi. Ini penting untuk mengurangi arus bolak-balik (commuting) di dalam kota. Ide ini tidak hanya berlaku untuk superblok apartemen-mall yang belakangan dibangun di Jakarta untuk masyarakat kalangan menengah dan atas. Tetapi juga untuk perumahan rakyat yang bisa digabung dengan pasar rakyat. Misalnya, pasar rakyat digabung dengan rumah susun, dan lain-lain. Ketiga, melibatkan arsitek-arsitek Indonesia yang visioner untuk membuat desain perumahan rakyat. Jadi, tak hanya dimonopoli kontraktor-kontraktor rumah murah yang berorientasi keuntungan (semata) dan instan.

Pameran yang berlangsung 18 Oktober – 7 November kemarin ini berlangsung di Erasmus Huis, Jalan H Rasuna Said Kavling 3, Kuningan, Jakarta Selatan. Pengunjung dapat mengeksplorasi karya-karya terbaik dari desain kontemporer perumahan sosial. Mulai dari desain MVRDV hingga 24H Architecture dan wallpaper foto-foto perumahan yang terjangkau di Belanda dari sudut pandang arsitek Indonesia.

Pemeran ini melibatkan tak kurang dari 47 arsitek dan fotografer, baik dari Indonesia maupun Belanda. Adapun arsitek Indonesia yang foto-fotonya turut dipamerkan adalah sebagian besar diaspora Indonesia yang atau pernah tinggal (studi/berkunjung) di Belanda. Atau pernah berkunjung untuk studi atau bekerja di Belanda. Diantaranya adalah adalah Agus Danang Ismoyo, Amelia Lukmanto, Bert Tjhia, Sigit Kusumawijaya, dan lain-lain.

 

Published by Intisari-Online.com on November 8, 2012
Link: http://intisari-online.com/read/solusi-perumahan-rakyat-ala-belanda-1-http://intisari-online.com/read/solusi-perumahan-rakyat-ala-belanda-2-habis-