Seorang kawan yang setiap hari mengendarai mobil untuk bekerja sering bercerita tentang bagaimana setiap hari saat berangkat dan pulang kerja ia harus menghadapi macetnya jalanan Jakarta yang menggila. Saya yang bukan termasuk pengendara mobil sejati hanya mesam-mesem saja. Selama ini saya cukup puas dengan hanya memegang label penumpang (karena sudah ada supir saya…, supir kita bersama mungkin alias supir kendaraan umum) sehingga tidak terlalu mengeluh seperti dirinya meskipun sebenarnya juga sudah cukup muak dengan kondisi tersebut, hanya saja kaki tidak lelah menginjak gas, rem dan atau kopling. Hanya lidah dan hati yang lelah mengutuk. Yah…mungkin memang nasib pengendara mobil seperti itu, macet sudah menjadi penyakit kronis untuk sebuah kota besar seperti Jakarta ini. Konon bahkan kemacetan jalan pertama kali terjadi pada zaman Romawi dan masih lestari hingga kini.

Lain lagi cerita seorang kawan yang sangat irit ongkos sehingga lebih memilih untuk berjalan kaki baik untuk bepergian (jarak dekat tentunya…) maupun sekedar mencari udara segar dan berolahraga secara murah meriah. Suatu pagi ia sedang berjalan kaki di pedestrian sebuah jalan protokol yang cukup ramai di selatan Jakarta. Maklum sebagai seorang freelancer, ia tidak perlu datang pagi-pagi ke kantor, pasang muka dan absen, jadi ia menikmati jalan kaki paginya itu. Sementara kondisi jalanan macet merayap, insan-insan Jakarta serentak beranjak ke kantor, tempat meeting, sekolah, kampus dan lain-lain. Saat sedang asyik-asyiknya menikmati suasana, terdengar suara deru mesin motor di belakangnya diiringi klakson menyalak-nyalak. Kontan kawan saya itu minggir dengan wajah kaget. Melintaslah beberapa sepeda motor di pedestrian tersebut dengan wajah para pengendaranya yang bersungut-sungut, malah ada satu orang yang mengutukinya, “Mas, minggir dong…saya buru-buru nih!”. Lho……….?

Itu sekelumit kisah dari beberapa kawan yang tiap hari mengakrabi Jakarta. Menjadi salah satu bagian yang mengisi jalan-jalan Jakarta dan ruang-ruang publik lainnya. Menemui fenomena-fenomena urban yang menjadi bumbu dalam kehidupan metropolis ini. Menjadi bagian dari budaya jalanan.

Manusia Jakarta punya ruang pribadi masing-masing baik itu dalam rumah pribadi, kontrakan, kamar apartemen atau kamar kos…atau tempat apapun untuk melabuhkan diri pada akhir perjalanan hari…dan memulai hari esoknya kemudian. Di luar itu, manusia Jakarta kembali tumpah ruah di jalan dan ruang publik lainnya yang menjadi ajang bersinggungannya pribadi-pribadi manusia Jakarta lebur dalam ruang bersama, menyatu, saling berinteraksi, baik itu para pejalan kaki, pengendara kendaraan bermotor roda dua, tiga atau empat. Tapi masalahnya mungkin tanpa disadari manusia Jakarta sungguh berbudaya, kata-kata mutiara “elu-elu, gua-gua” masih dihayati begitu lekat , dimana porsi penggunaan ego cukup tinggi, sehingga sangat memungkinkan terjadinya friksi antar pribadi-pribadi tersebut. Akhirnya jalan dan ruang publik Jakarta menjadi semacam arena pertarungan antara para gladiator baik yang berdiri sendiri maupun yang menggunakan chariot atau kereta berkuda untuk bisa survive. Yang kuat menghajar yang lemah sehingga tidak haram hukumnya untuk menghancurkan pihak lain…apalagi bila posisinya lemah. Sikaaat!!!

Mungkin selain kawan-kawan saya, banyak dari kita yang pernah memiliki pengalaman-pengalaman seperti di atas, mungkin juga tubuh dan jiwa ini sudah lelah menghadapinya, lidah sudah lelah menyumpah serapah. Tapi pernahkah anda coba bertanya sendiri apa anda merasa ada yang salah disini? Atau semuanya malah wajar adanya dan sudah berjalan semestinya? Atau anda malahan tidak tahu apa-apa?

Hal inilah yang dirasakan oleh dua orang kawan, Sigit Kusumawijaya dan Priyanto, arsitek freelance sekaligus videographer yang mencoba menanggapi fenomena-fenomena urban yang mereka lihat selama ini dengan menciptakan karya dalam media video art berjudul Where R Ur Empathies, Jakartans? [:campaign project] “fenomena distorsi urban di jakarta dalam perspektif desain”. Dengan label urbVIZ [:studio] mereka mencoba memberikan pertanyaan yang menggelitik, nakal, dan iseng. Bukan ingin menjadi hakim dan menentukan mana yang salah dan mana yang benar, atau menjadi sufi bijak yang mampu memberikan jawaban atas semua masalah. Namun hanya mencoba mengajak kita untuk sedikit ber-empati dan menyadari adanya fenomena-fenomena urban tersebut yang ternyata menjadi bagian hidup kita sehari-hari. Siapa tahu mungkin ada sedikit bagian dari sisi hati kita yang tergugah. Dan…berbuat sesuatu mungkin?

Proyek ini melibatkan beberapa pihak sebagai partner diskusi dan kontributor antara lain Andra Matin dan VistaVastu (arsitek), Iriantine Karnaya (perupa), Davy Linggar (fotografer), Komunitas Ruangrupa dan Belajar Desain, serta beberapa mahasiswa sebagai sukarelawan.

Empat isu ditampilkan dalam proyek ini. Isu pertama berjudul “Coloring the Gloominess of Jakarta’s Concrete” (reducing stress in the middle of Jakarta’s traffic). Sesuai dengan tema Outmagz edisi kali ini, isu “mewarnai kesuraman beton-beton Jakarta” ini akan dibahas secara lebih banyak.

Stres saat menghadapi kemacetan jalan selama berjam-jam dan merasa…MUAK? Sementara pemandangan di luar kaca mobil yang terlihat melulu jalan, flyover, underpass membelah dan mengitari kota dengan warna…abu-abu suram, kelam… gloomy. Jakarta seakan hanya merupakan kota dengan warna-warna mati seperti Gotham City dalam film Batman dan Batman Returns hasil imajinasi Tim Burton. Mungkinkah pemandangan yang kita nikmati sepanjang perjalanan kita turut mempengaruhi kondisi unconscious kita? Ya tidak tahu, saya kan bukan seorang psikolog atau semacamnya! Tapi saya bisa mengatakan itu MUNGKIN SAJA!…maksudnya mungkin saja stres muncul dari kondisi unconscious kita yang tidak mendapat pencerahan dari “pengalaman menjelajah kota” (bukan bisa saja saya menjadi seorang psikolog!).

Kalau tiba-tiba ada ide “nakal” untuk mewarnai semuanya dengan warna oranye, hijau, biru, me-ji-ku-hi-bi-ni-u atau mungkin polkadot kombinasi kuning dan ungu, mungkinkah akan punya efek psikologis mengurangi stres? Selama ini sering juga kita lihat di beberapa tembok jalan Jakarta yang sudah di”eksplorasi” oleh komunitas-komunitas grafiti seperti Tembok Bomber atau @rtcoholic sehingga terlihat lebih berwarna, tapi hal ini tidak lama karena beberapa hari lagi sudah berganti dengan cat favorit Pemda kota yang berwarna putih atau abu-abu, kembali menjadi foto buram Jakarta yang seperti dicetak sephia atau black & white.

Saya jadi ingat bagaimana mendiang Romo Mangun mengangkat citra kampung marjinal Kali Code di Yogyakarta yang semula berkesan kumuh dan jorok, seperti sebuah kutil dalam kemajuan kota yang harus dilenyapkan menjadi berkesan asri dan tumbuh harmonis dengan perkembangan kota. Selain didesain ulang secara sederhana namun bersahaja, Romo Mangun dengan dibantu warga dan sukarelawan memberikan “warna baru” pada kampung dengan cara mengecatnya berwarna-warni menciptakan citra baru kampung yang indah, hidup, tidak suram. Nah…kalau konsep tersebut kita terapkan dalam skala kota Jakarta secara menyeluruh…membuat Jakarta lebih berwarna dengan mengecat hutan beton Jakarta menjadi berwarna-warni…mungkin menjelajah Jakarta menjadi sebuah pengalaman yang menyenangkan alih-alih bikin stress. “Jakarta kota berwarna” atau “Warnai Jakarta” mungkin bisa jadi jargon pariwisata tahun depan.

Tapi kalau menjelajah Jakarta jadi aktivitas yang menyenangkan, bisa-bisa semua orang tumpah ruah ke jalan dan menambah macet jalan…meskipun itu terjadi mungkin paling tidak kita bisa menikmati dengan senang suasana macet itu!

Isu kedua berjudul “Pedestrian, abc & dis(Comforts)” mempertanyakan tentang pedestrian yang sesuai fungsinya ditahbiskan untuk menjadi “ruang pribadi” para pejalan kaki, namun realitanya sering dijumpai ruang ini diinterupsi oleh motor dan pedagang K5. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah sudah nyamankah pejalan kaki berjalan di pedestrian tanpa harus was-was terserempet motor yang nyelonong lewat, atau terpaksa ikut slalom test diantara jajaran pohon dan tiang listrik, atau dihadang kumpulan pedagang K5 sehingga harus turun ke jalan “menjajah” ruang kendaraan bermotor? Setiap aktivitas membangun konstruksi ruangnya masing-masing serta menciptakan definisi atas ruang dan aktivitas itu sendiri. Bila aktivitas tersebut menjamah ruang aktivitas lain, dan budaya “elu-elu…gua-gua” masih dihayati begitu lekat, konflikpun tidak dapat dihindari.

Isu ketiga berjudul “re-PUZZLING Bus Shelter” (focusing on bus shelter contextuality) berusaha mengangkat realita halte–halte bus di Jakarta yang didesain dan diletakkan tidak kontekstual dengan lingkungannya. Mempergunakan metode mix & match & permainan puzzle, bagian ketiga ini mencoba memasukkan atau menukar desain halte-halte tersebut dengan desain halte dari luar negeri, membebaskan orang-orang untuk berpikir dan menentukan sendiri mana yang mereka anggap cocok.

Isu terakhir atau keempat menyajikan sebuah wacana tentang kota dan identitasnya. Dengan judul “(toothless) famed Landmark”, bagian ini menghadirkan ironi ompongnya landmark Jakarta. Landmark seperti patung, tugu atau lapangan terbuka yang merupakan ikon jalan atau wilayah sebagai penanda/identitas wilayah tersebut kondisinya semakin tertindas, kalah oleh pembangunan yang kurang menghormati/menghargai keberadaannya. Setiap bangunan seakan “berteriak”, saling berlomba paling tinggi, paling indah tanpa menghargai keberadaan landmark yang lebih dulu berada disana. Tugu Selamat Datang di bundaran HI menjadi salah satu contoh landmark yang terkepung oleh gedung-gedung tinggi yang masing-masing punya posisi cukup kuat .

Proyek ini sendiri merupakan semacam proyek kampanye yang akan diikuti dengan roadshow untuk pameran dan presentasi ke beberapa tempat seperti Open House Arsitektur UI, Belajar Desain Gathering, Ruangrupa, dan tempat-tempat lain yang memungkinkan.

Nah…kalau selama ini kita (pura-pura?) tidak menyadari adanya fenomena-fenomena urban tersebut, terlalu cuek dengan dunia ruang hidup kita sendiri, mungkin tidak ada salahnya jika membuka sedikit jendela pemahaman kita terhadap fenomena-fenomena tersebut dengan mencoba tidak hanya berdiri di satu sisi. Sedikit mencoba memahami dan “seakan-akan” menjadi orang lain untuk bisa menyelami alam pikirnya. Trying to understand another people state of mind. Itu yang kita sebut dengan empati. Siapa tahu horison pemahaman kita bisa terbentang lebih luas dan jelas.

Jadi, sudah cukupkah anda ber-empati? Atau tidak cukup peduli? Tanya kepada orang di sebelah anda!

– Yoso Bayudono –
penggiat & kontributor Belajar Desain [:designers open community], bekerja sebagai arsitek di biro Vistavastu, penulis lepas, model amatir, tinggal di Cipete.
Yoso’s blog: http://gerrilya.wordpress.com/

This is an article written by one of my colleagues, Yoso Bayudono, which was published in OUTMAGZ Magazine vol.13//April 2006//COLOR on page 58-61 for the videography project: Where R Ur Empathies, Jakartans?“urban distortion phenomenon of Jakarta in design perspective” [:campaign project] — an initiative urban campaign project to critize the urban phenomenon of Jakarta. With his colleague, Priyanto under the team called urbVIZ [:studio] or Urban Visualization Studio,Sigit tried to expose some issues and want to stress on some problem in Jakarta as one of megapolitan cities in the world.