This writing is a review for Biennale Jakarta 2006 exhibition “BEYOND”, May 22nd – June 25th, 2006 at Jakarta.
Keringnya Warna-warna Baru dan Segar dalam Kekayaan Seni dan Desain Indonesia
(sebuah refleksi dari pameran Biennale Jakarta 2006 “BEYOND”, 22 Mei-25 Juni 2006)
by: Sigit Kusumawijaya
Menyusuri masa lalu merupakan sebuah perjalanan yang dapat membangkitkan memori kita tentang kenangan-kenangan baik yang indah maupun buruk yang telah lewat. Namun melihat masa lalu tanpa mengambil intisari dan hikmah yang terkandung di dalamnya akan membawa kita pada kekeringan ide untuk memperkaya khasanah kita ke depannya. Kurangnya karya-karya baru yang fresh inilah yang terlihat pada pameran Biennale Jakarta 2006 yang diselenggarakan pada tanggal 22 Mei-25 Juni 2006 di beberapa tempat di Jakarta seperti Galeri Nasional Indonesia, Museum Seni & Keramik, Galeri Cipta II & III TIM, Galeri Cemara 6 dan Galeri Lontar. Masing-masing tempat mempunyai tema sendiri-sendiri untuk karya-karya yang dipamerkannya. Galeri Nasional Indonesia dan Museum Seni Rupa & Keramik memamerkan karya dengan tema “Milestone” atau Tonggak Sejarah. Galeri Cemara 6 dan Galeri Lontar mengusung tema “The Others” yang berisi karya-karya perupa ekspatriat. Sedangkan di Galeri Cipta II & Galeri Cipta III TIM memakai tema “Beyond” yang banyak memamerkan karya dengan menggunakan media baru.
Menurut namanya sendiri, Biennale merupakan sebuah tradisi pameran seni rupa internasional yang diselenggarakan setiap 2 tahun sekali dan melibatkan sekelompok juri internasional untuk menghimpun dan melakukan penilaian atas karya-karya yang dipamerkan. Pameran Biennale yang terkenal salah satunya adalah Venice Biennale yang telah berlangsung sejak tahun 1895. Namun kemudian banyak kota besar dunia lainnya yang juga secara rutin mengadakan pameran Biennale internasional, seperti Sao Paulo, Paris, Teheran, Tokyo dan kota-kota lainnya, tak terkecuali Jakarta, Bali dan Yogyakarta.
Sedangkan sejarah pameran Biennale di Indonesia sendiri baru dimulai sejak tahun 1974, namun pada waktu itu belum dinamakan “Biennale”. Penggunaan nama “Biennale” dimulai sejak tahun 1982. Penyelenggaraan pameran Biennale Jakarta sendiri banyak mengalami pasang surut sejak pertama kali diadakan pada tahun 1974. Sejak pameran tahun 1974, 1976, 1978 dan 1980 keseluruhan karya masih berupa karya lukis dengan nama pameran “Pameran Besar Seni Lukis Indonesia”. Hingga akhirnya mulai pada pameran 1982 kemudian berturut-turut 1984, 1987, 1989, 1993, 1996, 1998, sempat mandeg cukup lama dan terakhir yang sekarang 2006, karya yang dipamerkan mulai beragam, dari karya lukis, patung, instalasi, performance art, sampai karya-karya dengan menggunakan media baru. Nama pamerannya pun mulai menggunakan Biennale seperti pada pameran tahun ini, Biennale Jakarta 2006.
Selain pameran Biennale Jakarta 2006 yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta ini, Indonesia juga mempunyai pameran Biennale lainnya seperti Biennale Bali, Biennale Yogyakarta dan yang terakhir CP Biennale. Menurut keterangan, mulanya Biennale Jakarta ini rencananya dilangsungkan sekitar bulan Desember 2005, namun karena waktunya sangat dekat dengan pameran Biennale lainnya yang pada tahun 2005 diselenggarakan secara berangkaian dan banyaknya peserta yang belum siap dikarenakan karya-karya yang ditampilkan harus berbeda dari Biennale satu ke Biennale lainnya, maka penyelenggaraan Biennale Jakarta ini terpaksa mundur.
Mengusung tema besar “BEYOND”, pameran kali ini berusaha menafsirkan kenyataan-kenyataan masa lalu maupun masa kini dari seni rupa Indonesia. Dengan menggunakan kata “BEYOND”, dewan penyelenggara dan kurator ingin mengungkapkan sebuah pembacaan terhadap berbagai fenomena budaya dan perkembangan seni rupa Indonesia yang memiliki pola khas dan “menyimpang” dari perspektif dan konstruksi pemikiran yang lazim; atau, sejarah perkembangan seni dan budaya modern kita yang “subversif” sesungguhnya tidak dapat ditaklukkan hanya dengan teori-teori yang terbatas. Berdasarkan keterangan, dari persepektif sejarah seni rupa modern Indonesia, kata BEYOND dapat dipahami sebagai “bagian terpisah” dari sejarah seni rupa dunia, dan selalu menunjukkan “keterpisahannya” karena tidak mengikuti proses perkembangan yang runtut dan “logis” dari perspektif seni rupa dunia.
Berikut penulis akan mencoba mengulas isi dari pameran tersebut menurut perspektif penulis secara singkat di tiap-tiap tempat pameran, kecuali Galeri Lontar, dikarenakan waktu yang tidak mencukupi untuk mendatangi keseluruhan tempat pameran dalam satu hari. Di Galeri Nasional Indonesia dan Museum Seni & Keramik yang keduanya mengusung tema “Milestone” atau Tonggak Sejarah, karya-karya yang dipamerkan kebanyakan karya lukisan dari generasi pelukis terdahulu seperti Hendra Gunawan (dengan judul Pengantin Revolusi), Sapto Budoyo (Peratapan Gerilya), S. Sudjojono (Prambanan 3 Juli 1949/tahun pembuatan: 1968, Ketoprak/1970, Laskar Tritura/1966, Rontok/1966 dan High Level/1970), Otto Djaja (1946-1947), Agus Djaja (Kuda Kepang/1955), Affandi (Pemakaman Raja Inggris/1952, Ibuku/1994), Ade Pirous (Bersepeda/1966), Bagong Kussudiardjo (Tangki Minyak/1970), Jim Supangkat (Pengumuman/1975), Basoeki Abdullah, Henk Ngantung (Gadis/1947), Dullah, Soedibyo, Raden Saleh (Badai/1857), dan lain-lain. Karya-karya lukis yang masih baru hanya sedikit seperti karya Astari (Elvis/2006, Envy/2006), Hendro Suseno (Munir/2001) Laksmi Shitaresmi (The Passion of Life/2006), Entang Wiharso (Justification/2006), Yusuf Affendi (Udan Lisris Pagi/2006), Hanafi (Janin Merah/2006) dan Ivan Sagita (Sepasang Terpisah/2006). Selain karya lukis, ditampilkan pula karya-karya lain seperti pematung Iriantine Karnaya (seorang dosen Seni Rupa di Arsitektur UI dari penulis) dengan karyanya Unlimited (2006) dan Gula & Semut (1995), Nyoman Nuarta (Borobudur) dan Rita Widagdo (2005), serta fotografer Oscar Motuloh dengan karya fotografinya: The End. Yang lainnya seperti karya instalasi & video art Agoes Djolly, karya instalasi ilalang oleh Nyoman Erawan (Ritus Kepala Tertusuk-tusuk) dan video art karya Krisna Murti (No Hero/2006) yang mencoba untuk mengajak kita berempati terhadap TKW-TKW yang sedang bekerja di luar negeri seperti Singapura, Hongkong dan Shanghai.
Dari keseluruhan karya di Galeri Nasional Indonesia dan Museum Seni & Keramik ini terlihat bahwa panitia ingin menampilkan sejarah perkembangan seni lukis dan seni rupa di Indonesia dari masa pelukis Raden Saleh hingga generasi sekarang. Namun menurut sudut pandang penulis, yang terlihat justru terlalu banyaknya karya-karya lama yang ditampilkan dan sedikitnya karya-karya baru, sehingga dapat menjadi sebuah pertanyaan apakah karya-karya baru yang masuk ke dewan kurator memang kurang untuk pameran sebesar Biennale Jakarta ini. Tata letak karya juga cenderung tidak diatur per kategori ataupun dengan terlalu banyaknya karya yang dipamerkan sehingga pengunjung tidak dapat fokus untuk satu karya saja, karena karya lain letaknya terlalu dekat. Memang beberapa karya, walaupun karya lama, masih terlihat sebagai sebuah karya yang abadi seperti karya Raden Saleh, Affandi dan Basoeki Abdullah sehingga masih terlihat eksotis keindahannya. Karya-karya seniman generasi baru yang menarik juga bisa dilihat dari karya Nyoman Nuarta, Iriantine Karnaya, Rita Widagdo, Agoes Djolly, Nyoman Erawan dan Krisna Murti.
Di tempat lain, Galeri Cipta II dan Galeri Cipta III TIM, memakai tema “Beyond” dan lebih menampilkan seniman-seniman baru yang berpameran seperti Rudy Rahadian dengan patungnya yang menggunakan bahan baja dengan judul: Tanpa Judul (2005) dan Hukuman (2006), video art karya Ridwan (Sendirian/2006), Tintin Wulia (kolega penulis ketika membantu pameran Andra Matin di CP Biennale 2005) dengan karya videonya Exercising Realities part 1: Ever After (2006), karya instalasi Bunga Jeruk (Varisasi), instalasi & video Nevfita Primadewi ((tidak) 100% Bebas Seniman/2006), film semi dokumenter karya Ariani Darmawan (Anak Naga Beranak Naga/2006), Yuriza Kenobi & Dendi Darman dari Endjoy Division dengan karya mix media-nya: Make War Love Too (2006) dan lain-lain. Karya-karya seniman muda ini terlihat sangat kurang kuantitasnya sehingga secara keseluruhan terasa kering kualitas. Karya-karya yang penulis anggap menarik dan inovatif seperti karya Bunga Jeruk sebagai sebuah satire dari kondisi keluarga di Indonesia, Ariani Darmawan dengan karya filmnya Anak Naga Beranak Naga yang baru-baru ini juga di-launch di beberapa tempat, serta karya Tintin Wulia yang menampilkan sebuah video art realita tentang pernikahan Andrew Linggar-Angela Andini dengan kespontanan para pelaku acara pernikahan tersebut.
Sedangkan di Galeri Cemara 6 hanya menampilkan empat buah karya perupa ekspatriat. Mereka kesemuanya warga asing yang sering mengunjungi dan pernah menetap di Indonesia untuk berkarya seperti Ann Wizer (USA, Jakarta, Manila) dengan karyanya: Under the Doors & Over The Wall, Midori Hirota (Jepang, Bali) dengan karya: The Back Affection, pelukis Pieter Dittmar (Jerman, Ubud, Sydney) dengan karya-karya lukis kontemporernya dan yang terakhir Hie Siok Ke (Korea, Finlandia) dengan karya instalasinya. Pameran di Galeri Cemara 6 dan di Galeri Lontar mungkin hanya sebagai pelengkap dari keseluruhan pameran Biennale Jakarta 2006 ini karena hanya sedikit karya yang ditampilkan. Penulis hanya menaruh poin yang menarik pada karya Ann Wizer yang menggunakan bahan kertas-kertas sampah yang didaur ulang dan dikemas dalam bantal-bantal plastik transparan yang kemudian disusun menjadi sebuah karya yang menarik. Karya-karya lainnya mungkin masih sama kualitasnya dengan karya-karya seniman Indonesia.
Secara keseluruhan, pameran Biennale Jakarta 2006 ini menurut kacamata penulis sangat kurang akan karya-karya baru yang segar sehingga yang lebih banyak ditampilkan adalah karya-karya seniman dari generasi terdahulu yang kebanyakan juga sebetulnya karya-karya yang berasal dari koleksi Galeri Nasional Indonesia, Gedung Kesenian Jakarta dan Museum Seni & Keramik. Kesan yang timbul adalah karya-karya seniman baru tidak banyak yang masuk ke dewan kurator, sehingga akhirnya yang ditampilkan adalah karya-karya lama tadi. Walaupun tema besar yang diangkat adalah “Beyond”, namun dari segi porsi keseluruhan karya baru sangat kurang. Terlalu banyaknya karya yang dipamerkan ini juga dapat membuat fokus pengunjung menjadi tidak jelas karena terlalu sering diinterupsi oleh karya lain disaat pengunjung sedang fokus ke sebuah karya. Hal lain yang menjadi titik kritis dari penulis adalah bahwa dari sisi lokasi pameran, penyebaran karya-karya kurang diperhatikan dengan jeli, sehingga penumpukkan karya terlihat pada Galeri Nasional Indonesia dan Museum Seni & Keramik. Tempat pameran lainnya sangat kurang akan karya. Meskipun mungkin panitia ingin mendekatkan acara pameran dengan ulang tahun yang ke-479 kota Jakarta pada bulan Juni ini sehingga penyebaran pameran dilakukan di beberapa titik Jakarta agar merata, namun lagi-lagi porsinya tidak seimbang. Publikasi pameran juga masih terasa kurang gaungnya, mungkin masih kalah dengan publikasi CP Biennale 2005 yang lalu (yang terbantukan oleh media infotainment atas kasus bugilnya Anjasmara). Seperti halnya yang diungkapkan oleh Bambang Bujono, wartawan dan penulis seni rupa di harian Kompas, Minggu, 4 Juni 2006, penulis juga mempunyai anggapan sama bahwa secara keseluruhan karya seni lama yang dipamerkan jauh lebih bagus daripada yang “new-new” ini.
Terlepas dari kritik semua di atas, ada sisi positif yang bisa diangkat dari sebuah pameran Biennale Jakarta 2006 ini. Dengan menjelajahi waktu melihat karya-karya seni dari generasi terdahulu yang sangat tinggi nilai estetika dan moralnya, kita dapat memetik pelajaran dari mereka akan kaya dan beragamnya seni Indonesia dan berusaha untuk berbuat dan berkarya yang lebih baik dengan dibantunya kemudahan-kemudahan informasi dan teknologi. Bagi penulis pribadi dan teman-teman yang sama-sama masih ingin belajar tentang desain dan seni, kesempatan-kesempatan melihat sejarah perkembangan karya-karya seni Indonesia dari generasi terdahulu hingga generasi kita sekarang seperti ini sangat langka terjadi. Pengalaman-pengalaman seperti ini secara sadar ataupun tidak dapat memperluas khasanah akan seni dan desain serta menjadi sebuah kosakata yang tersimpan dalam memori kolektif masing-masing kita untuk berkarya ke depannya.
Salam dan terima kasih.
– Sigit Kusumawijaya –
another link in Sigit Kusumawijaya Multilpy site: Keringnya warna-warna baru dan segar dalam kekayaan seni dan desain Indonesia: http://sigitkusumawijaya.multiply.com/journal/item/3
Work Description:
Title: “Keringnya Warna-warna Baru dan Segar dalam Kekayaan Seni dan Desain Indonesia”
Writer: Sigit Kusumawijaya
Status: Exhibition review
Year: 2006