Peri-urban, Tidak Kasat Mata dan “Tak Bertuan”
Rabu, 25 Februari 2015 | 14:17 WIB
Arsitek sekaligus perencana perkotaan Sigit Kusumawijaya mengatakan, selama ini, daerah tersebut terkesan kasat mata, karena tidak banyak orang, termasuk pemerintah, menyadari keberadaannya. Menurut dia, penataan kota berada di bawah naungan Kementerian Pekerjaan Umum dan perumahan Rakyat.
Hal tersebut terlihat dari program-programnya yang kebanyakan membangun kawasan kota seperti Kota Pusaka dan Kota Hijau. Sementara penataan desa, berada di bawah naungan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.
“Peri-urban ini belum ada yang menaungi. Areanya di antara dua itu (desa dan kota),” ujar Sigit kepada Kompas.com, usai pemaparan materi arsitektur di Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Depok, Selasa (25/2/2015).
Sigit menjelaskan, area ini penting untuk diperhatikan. Pasalnya, peri-urban mulai menghilang karena kota terus berkembang. “Peri-urban berpotensi berubah fungsi. Di kawasan Jakarta, Depok, Bogor, Tangerang, Bekasi (Jadebotabek) banyak. Sekarang, kawasan Jadebotabek sudah besar-besar. Seperti di Cikarang,” lanjut dia.
Sigit menjelaskan, jika menarik sejarah, DKI Jakarta dahulu hanya berpusat di area Kota Tua sementara daerah yang lainnya adalah rural. Sekarang, seluruh daerah di Jakarta merupakan perkotaan.
“Di daerah-daerah pinggiran Jakarta, sekarang sudah mulai, seperti Depok sampai ke pinggiran yaitu Bogor. Banten juga sudah mulai. Kalau di Yogyakarta, contohnya Bantul,” terang dia.
Untuk mencegah area perkotaan menyebar terlalu cepat, Sigit berharap pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk mengerem laju perkembangan kota, ke daerah peri-urban. “Kota pasti berkembang. Itu pasti. Tapi, jangan terlalu cepat karena banyak lahan yang dibutuhkan untuk daya dukung lingkungan menjadi berubah fungsi,” jelas Sigit.
Dia mencontohkan, lahan pertanian dan perkebunan di peri-urban yang sudah dibangun gedung perkantoran dan perumahan. Para pengembang, biasanya mencari lahan di luar kota untuk membangun. Pada saat yang bersamaan, penduduk peri-urban juga tidak ragu menjual lahannya.
“Contoh kasus, petani punya sawah, atau pemilik-pemilik lahan sawah di pinggiran (kota). Mereka cenderung ingin mendapat uang secara instan, akhirnya dijual jadi bangunan. Jadi lahan sawah berkurang. Itu kawasan yang tadinya peri-urban berubah jadi kota juga,” papar Sigit.
Menurut dia, kawasan peri-urban harus dipertahankan karena mengandung kearifan lokal. Di ranah global, pengembangan peri-urban sudah banyak didengungkan. Tujuannya, supaya masyarakat di sana bisa mempertahankan dan memiliki kebanggaan terhadap kawasannya.
“Kita ingin mengembangkan dan memodernisasi sistem agrikluturnya dan membuat lahan-lahan (di periurban) itu menarik untuk dikunjungi,” sebut Sigit seraya menyimpulkan, hal tersebut bisa membuka lapangan pekerjaan baru sehingga penduduk desa tidak perlu ke kota atau tempat lain.
Editor: Hilda B Alexander
Link: http://properti.kompas.com/read/2015/02/25/141742721/Peri-urban.Tidak.Kasat.Mata.dan.Tak.Bertuan.